⠀ ⠀ ⠀ ⠀

ᅠ sedang berpikir cari kerja dimana. Inget guys 𝗰𝗮𝗿𝗶 𝗱𝘂𝗶𝘁 𝗶𝘁𝘂 𝘀𝘂𝘀𝗮𝗵. ᅠ

Selamat makan!

ᅠ Idung gatel, tandanya emel lagi gibah. Hoi, gibahin gue ya? @lovefble ᅠ

Mikir kids

ᅠ Security nya caper mau minta tanda tangan artis. Itu bukan gembel — tapi stylish. You know? ᅠ

https://t.co/SZpbKyvC60

Buset dah, gedung-gedung nya tinggi-tinggi banget. Tapi jalanan-nya 𝗺𝗮𝗰𝗲𝘁.

ᅠ UNTUNG ADA YANG MAU NAMPUNG, KALO GAK! BUNTU LAGI BUNTU LAGI. Teh, Gratis kan? @lovefble ᅠ

️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️

⠀ 𝘼-𝙆𝙐 𝘽𝙐𝙆𝘼𝙉 𝙋𝙀𝙍𝙂𝙄 𝙐𝙉𝙏𝙐𝙆 𝙇𝘼𝙍𝙄❟ 𝙏𝘼𝙋𝙄 𝙈𝙀𝙈𝘽𝙐𝙆𝙏𝙄𝙆𝘼𝙉 𝘽𝘼𝙃𝙒𝘼 𝙎𝙀𝙊𝙍𝘼𝙉𝙂 𝙎𝘼𝙎𝙏𝙍𝘼 𝙈𝘼𝙉𝘿𝘼𝙇𝘼 𝙅𝙐𝙂𝘼 𝘽𝙄𝙎𝘼 𝘽𝙀𝙍𝘿𝙄𝙍𝙄 𝘿𝙀𝙉𝙂𝘼𝙉 𝘾𝘼𝙍𝘼-𝙉𝙔𝘼 𝙎𝙀𝙉𝘿𝙄𝙍𝙄. ⠀

⠀ 𝙅𝘼𝙆𝘼𝙍𝙏𝘼 Lampu-lampunya 𝗯𝗲𝗿𝗸𝗲𝗹𝗶𝗽 seperti 𝘏𝘈𝘙𝘈𝘗𝘈𝘕. Ia tahu, 𝙝𝙞𝙙𝙪𝙥 𝙙𝙞 𝙠𝙤𝙩𝙖 𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 akan 𝘔𝘜𝘋𝘈𝘏. Tapi untuk pertama kalinya, langkahnya bukan karena patuh 𝗺𝗲𝗹𝗮𝗶𝗻𝗸𝗮𝗻 karena dirinya 𝘚𝘌𝘕𝘋𝘐𝘙𝘐. ⠀

⠀ Ia memeluk ibunya. “𝘚𝘦𝘱𝘶𝘳𝘢𝘯𝘦, 𝘉𝘶. 𝘈𝘬𝘶 𝘰𝘳𝘢 𝘣𝘦𝘯𝘤𝘪 𝘰𝘮𝘢𝘩 𝘪𝘬𝘪. 𝘈𝘬𝘶 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘦𝘯 𝘯𝘨𝘨𝘢𝘸𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘯𝘬𝘶 𝘥𝘦𝘸𝘦.” Sastra berjalan keluar rumah tanpa menoleh lagi, menatap jalan panjang menuju kota yang selama ini hanya hidup di layar kaca. ⠀

⠀ 𝙎𝘼𝙎𝙏𝙍𝘼 𝙏𝙀𝙍𝘿𝙄𝘼𝙈 Ia tahu, ini bukan 𝘱𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘰𝘯𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯. Ini penyelamatan kecil yang harus ia lakukan 𝘚𝘌𝘕𝘋𝘐𝘙𝘐. Dengan tangan gemetar, ia mengemasi barang, membawa sisa gaji, dan 𝘴𝘦𝘱𝘰𝘵𝘰𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘣𝘦𝘳𝘢𝘯𝘪𝘢𝘯 yang hampir habis. ⠀

⠀ “𝘔𝘦𝘵𝘶 𝘬𝘰𝘸𝘦 𝘵𝘦𝘬𝘰 𝘰𝘮𝘢𝘩 𝘪𝘬𝘪! 𝘈𝘬𝘶 𝘰𝘳𝘢 𝘥𝘶𝘸𝘦 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘴𝘪𝘯𝘨 𝘰𝘳𝘢 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘵 𝘬𝘢𝘳𝘰 𝘸𝘰𝘯𝘨 𝘵𝘶𝘸𝘰!” Ibunya menangis, tapi tangis itu terdengar seperti doa yang tak punya tempat untuk dikabulkan. ⠀

⠀ Hingga suatu pagi, ia berhenti. Tak ada alasan besar. Hanya perasaan yang terlalu sesak untuk disimpan, Keputusannya mengguncang rumah itu lagi. Ayahnya menjadi murka, matanya menyala seperti bara. ⠀

⠀ Ia melanjutkan hidup di jalur yang bukan 𝘔𝘐𝘓𝘐𝘒-𝘕𝘠𝘈, kuliah di jurusan yang tak ia pahami, bekerja di kantor yang seperti penjara berkarpet bersih. Orang-orang bilang hidupnya sudah 𝘉𝘌𝘙𝘏𝘈𝘚𝘐𝘓 tapi di dalam dirinya, ada ruang kosong yang terus menggema. ⠀

⠀ Meja digebrak. Dinding bergetar. “𝘒𝘰𝘸𝘦 𝘮𝘪𝘬𝘪𝘳 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘤𝘶𝘮𝘢 𝘯𝘺𝘢𝘯𝘺𝘪? 𝘕𝘨𝘨𝘢𝘮𝘣𝘢𝘳? 𝘖𝘫𝘰 𝘯𝘨𝘪𝘮𝘱𝘪, 𝘚𝘢𝘴𝘵𝘳𝘢!” Dan 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘪𝘵𝘶, dalam hening yang panjang, ia memilih 𝘋𝘐𝘈𝘔 bukan karena kalah, tapi karena 𝘓𝘌𝘓𝘈𝘏. ⠀

⠀ Sastra menunduk, tapi suaranya pelan dan jujur, “𝘈𝘬𝘶 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘬𝘦 𝘴𝘦𝘬𝘰𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘯𝘪, 𝘗𝘢𝘬... 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘫𝘢𝘳 𝘮𝘶𝘴𝘪𝘬 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘭𝘶𝘬𝘪𝘴.” ⠀

⠀ Waktu berjalan. Ia tumbuh, seperti pohon yang dipangkas sebelum sempat berbuah. Saat tiba masa menentukan arah hidup, rumah itu kembali bergejolak. “𝘔𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘶𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘢𝘴 𝘯𝘦𝘨𝘦𝘳𝘪, 𝘫𝘶𝘳𝘶𝘴𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘯𝘢𝘫𝘦𝘮𝘦𝘯! 𝘐𝘵𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘣𝘢𝘪𝘬.” ⠀

⠀ Sejak awal, ia diajarkan bahwa 𝘔𝘌𝘕𝘊𝘐𝘕𝘛𝘈 berarti 𝘗𝘈𝘛𝘜𝘏, bahwa tunduk adalah cara paling sopan untuk hidup. Tapi di dada kecilnya, ada sesuatu yang bergetar seperti sebuah bisikan yang ingin bicara, namun selalu dipaksa diam. ⠀